Name : Yunda Fadila
Class : 3SA03
NPM : 17612955
Class : 3SA03
NPM : 17612955
1.
Sejarah Jurnalistik di Dunia
Zaman Romawi Kuno
Awal mulanya muncul jurnalistik dapat diketahui
dari berbagai literatur tentang sejarah jurnalistik yang senantiasa merujuk
pada “Acta Diurna” pada zaman Romawi Kuno masa pemerintahan kaisar Julius
Caesar (100-44 SM). “Acta Diurna”, yakni papan pengumuman (sejenis majalah
dinding atau papan informasi sekarang), diyakini sebagai produk jurnalistik
pertama; pers, media massa, atau surat kabar harian pertama di dunia. Julius
Caesar pun disebut sebagai “Bapak Pers Dunia”. Sebenarnya, Caesar hanya
meneruskan dan mengembangkan tradisi yang muncul pada permulaan berdirinya
kerajaan Romawi. Saat itu, atas peritah Raja Imam Agung, segala kejadian
penting dicatat pada “Annals”, yakni papan tulis yang digantungkan di serambi
rumah. Catatan pada papan tulis itu merupakan pemberitahuan bagi setiap orang
yang lewat dan memerlukannya. Saat berkuasa, Julius Caesar memerintahkan agar
hasil sidang dan kegiatan para anggota senat setiap hari diumumkan pada “Acta
Diurna”. Demikian pula berita tentang kejadian sehari-hari, peraturan-peraturan
penting, serta apa yang perlu disampaikan dan diketahui rakyatnya. Papan
pengumuman itu ditempelkan atau dipasang di pusat kota yang disebut “Forum Romanum”
(Stadion Romawi) untuk diketahui oleh umum.
Berita di “Acta Diurna”
kemudian disebarluaskan. Saat itulah muncul para “Diurnarii”, yakni orang-orang
yang bekerja membuat catatan-catatan tentang hasil rapat senat dari papan “Acta
Diurna” itu setiap hari, untuk para tuan tanah dan para hartawan. Dari kata
“Acta Diurna” inilah secara harfiah kata jurnalistik berasal yakni kata
“Diurnal” dalam Bahasa Latin berarti “harian” atau “setiap hari.” Diadopsi ke
dalam bahasa Prancis menjadi “Du Jour” dan bahasa Inggris “Journal” yang
berarti “hari”, “catatan harian”, atau “laporan”. Dari kata “Diurnarii” muncul
kata “Diurnalis” dan “Journalist” (wartawan).
Kertas pertama kali
diciptakan oleh bangsa Cina. Tsai Lun
adalah orang yang menemukan kertas yang dibuat dari bahan bambu yang mudah
didapatkan di Cina pada tahun 101 Masehi.
Penemuan ini kemudian menyebar ke Jepang dan Korea seiring dengan menyebarnya
bangsa Cina ke timur dan berkembangnya peradaban di kawasan itu, walaupun
sebenarnya cara pembuatan kertas pada awalnya merupakan hal yang sangat
dirahasiakan.Peradaban China merupakan peradaban yang tercatat dalam sejarah yang menyumbangkan kertas bagi dunia. Pada tahun 101 Masehi, Tsai Lun menemukan kertas yang terbuat dari bahan bambu yang mudah didapat di China. Ts’ai Lun merupakan seorang pegawai negeri pada pengadilan kerajaan yang di tahun 105 M mempersembahkan contoh kertas kepada Kaisar Ho Ti. Catatan China tentang penemuan Ts’ai Lun ini (terdapat dalam penulisan sejarah resmi dinasti Han. Orang-orang China senantiasa menghubungkan nama Ts’ai Lun dengan penemu kertas dan namanya tersohor di seluruh Cina.
Penggunaan kertas meluas di seluruh Cina pada abad ke-2, dan dalam beberapa abad saja China sudah sanggup mengekspor kertas ke negara-negara Asia. Di tahun 751, beberapa tenaga ahli pembuat kertas tertawan oleh orang-orang Arab sehingga dalam tempo singkat kertas sudah diproduksi di Bagdad dan Sarmarkand. Teknik pembuatan kertas menyebar ke seluruh Arab dan baru di abad ke-12 orang-orang Eropa belajar teknik ini. Sesudah itulah pemakaian kertas mulai berkembang luas dan sesudah Gutenberg menemukan mesin cetak modern, kertas menggantikan kedudukan kulit kambing sebagai sarana tulis-menulis di Barat. Kini penggunaan kertas begitu umumnya sehingga tak seorang pun sanggup membayangkan bagaimana bentuk dunia tanpa kertas.
Di China sebelum penemuan Ts’ai Lun umumnya buku dibuat dari bambu. Tidak heran jika buku seperti itu terlampau berat dan kikuk. Memang ada juga buku yang dibuat dari sutera tetapi harganya sangat mahal buat umum. Sedangkan di Eropa (sebelum ada kertas) buku ditulis di atas kulit kambing atau lembu. Material ini sebagai pengganti papyrus yang digemari oleh orang-orang Yunani, Romawi dan Mesir. Baik kulit maupun papyrus bukan saja termasuk barang langka tetapi juga harganya yang sulit terjangkau.
Teknik pembuatan kertas jatuh ke tangan orang-orang Arab pada masa Abbasiyah setelah kalahnya pasukan Dinasti Tang dalam Pertempuran Sungai Talas pada tahun 751 Masehi. Para tawanan perang mengajarkan cara pembuatan kertas kepada orang-orang arab, sehingga kemudian muncullah industri-industri kertas disana.
Teknik pembuatan kertas kemudian juga menyebar ke Italia dan India lalu Eropa khususnya setelah Perang Salib dan jatuhnya Grenada dari bangsa Moor ke tangan Spanyol dan ke seluruh dunia.
Penyebaran informasi tertulis maju sangat pesat
sejak mesin cetak ditemukan oleh Johan Guttenberg pada 1450. Koran cetakan yang
berbentuk seperti sekarang ini muncul pertama kalinya pada 1457 di Nurenberg,
Jerman. Salah satu peristiwa besar yang pertama kali diberitakan secara luas di
suratkabar adalah pengumuman hasil ekspedisi Christoper Columbus ke Benua
Amerika pada 1493.
Pelopor surat kabar
sebagai media berita pertama yang bernama “Gazetta” lahir di Venesia, Italia,
tahun 1536 M. Saat itu Republik Venesia sedang perang melawan Sultan Sulaiman.
Pada awalnya surat kabar ini ditulis tangan dan para pedagang penukar uang di Rialto
menulisnya dan menjualnya dengan murah, tapi kemudian surat kabar ini dicetak.
Surat kabar cetak yang pertama kali terbit teratur setiap hari adalah Oxford Gazzete di Inggris tahun 1665 M. Surat kabar ini kemudian berganti nama menjadi London Gazzette dan ketika Henry Muddiman menjadi editornya untuk pertama sekali dia telah menggunakan istilah “Newspaper”.
Di Amerika Serikat ilmu persuratkabaran mulai berkembang sejak tahun 1690 M dengan istilah “Journalism”. Saat itu terbit surat kabar dalam bentuk yang modern, Publick Occurences Both Foreign and Domestick, di Boston yang dimotori oleh Benjamin Harris.
Pada Abad ke-17, di Inggris kaum bangsawan umumnya memiliki penulis-penulis yang membuat berita untuk kepentingan sang bangsawan. Para penulis itu membutuhkan suplai berita. Organisasi pemasok berita (sindikat wartawan atau penulis) bermunculan bersama maraknya jumlah koran yang diterbitkan. Pada saat yang sama koran-koran eksperimental, yang bukan berasal dari kaum bangsawan, mulai pula diterbitkan pada Abad ke-17 itu, terutama di Prancis.
Pada abad ke-17 pula, John Milton memimpin perjuangan kebebasan menyatakan pendapat di Inggris yang terkenal dengan Areopagitica, A Defence of Unlicenced Printing. Sejak saat itu jurnalistik bukan saja menyiarkan berita (to inform), tetapi juga mempengaruhi pemerintah dan masyarakat (to influence).
Di Universitas Bazel, Swiss jurnalistik untuk pertama kali dikaji secara akademis oleh Karl Bucher (1847 – 1930) dan Max Weber (1864 – 1920) dengan nama Zeitungskunde tahun 1884 M. Sedangkan di Amerika mulai dibuka School of Journalism di Columbia University pada tahun 1912 M/1913 M dengan penggagasnya bernama Joseph Pulitzer (1847 – 1911).
Pada Abad ke-18, jurnalisme lebih merupakan bisnis dan alat politik ketimbang sebuah profesi.
Surat kabar cetak yang pertama kali terbit teratur setiap hari adalah Oxford Gazzete di Inggris tahun 1665 M. Surat kabar ini kemudian berganti nama menjadi London Gazzette dan ketika Henry Muddiman menjadi editornya untuk pertama sekali dia telah menggunakan istilah “Newspaper”.
Di Amerika Serikat ilmu persuratkabaran mulai berkembang sejak tahun 1690 M dengan istilah “Journalism”. Saat itu terbit surat kabar dalam bentuk yang modern, Publick Occurences Both Foreign and Domestick, di Boston yang dimotori oleh Benjamin Harris.
Pada Abad ke-17, di Inggris kaum bangsawan umumnya memiliki penulis-penulis yang membuat berita untuk kepentingan sang bangsawan. Para penulis itu membutuhkan suplai berita. Organisasi pemasok berita (sindikat wartawan atau penulis) bermunculan bersama maraknya jumlah koran yang diterbitkan. Pada saat yang sama koran-koran eksperimental, yang bukan berasal dari kaum bangsawan, mulai pula diterbitkan pada Abad ke-17 itu, terutama di Prancis.
Pada abad ke-17 pula, John Milton memimpin perjuangan kebebasan menyatakan pendapat di Inggris yang terkenal dengan Areopagitica, A Defence of Unlicenced Printing. Sejak saat itu jurnalistik bukan saja menyiarkan berita (to inform), tetapi juga mempengaruhi pemerintah dan masyarakat (to influence).
Di Universitas Bazel, Swiss jurnalistik untuk pertama kali dikaji secara akademis oleh Karl Bucher (1847 – 1930) dan Max Weber (1864 – 1920) dengan nama Zeitungskunde tahun 1884 M. Sedangkan di Amerika mulai dibuka School of Journalism di Columbia University pada tahun 1912 M/1913 M dengan penggagasnya bernama Joseph Pulitzer (1847 – 1911).
Pada Abad ke-18, jurnalisme lebih merupakan bisnis dan alat politik ketimbang sebuah profesi.
Komentar-komentar tentang
politik, misalnya, sudah bermunculan pada masa ini. Demikian pula ketrampilan
desain/perwajahan mulai berkembang dengan kian majunya teknik percetakan.
Pada abad ini juga perkembangan jurnalisme mulai diwarnai perjuangan panjang kebebasan pers antara wartawan dan penguasa. Pers Amerika dan Eropa berhasil menyingkirkan batu-batu sandungan sensorsip pada akhir Abad ke-18 dan memasuki era jurnalisme modern seperti yang kita kenal sekarang.
Perceraian antara jurnalisme dan politik terjadi pada sekitar 1825-an, sehingga wajah jurnalisme sendiri menjadi lebih jelas: independen dan berwibawa. Sejumlah jurnalis yang muncul pada abad itu bahkan lebih berpengaruh ketimbang tokoh-tokoh politik atau pemerintahan. Jadilah jurnalisme sebagai bentuk profesi yang mandiri dan cabang bisnis baru.
Pada pertengahan 1800-an mulai berkembang organisasi kantor berita yang berfungsi mengumpulkan berbagai berita dan tulisan untuk didistribusikan ke berbagai penerbit surat kabar dan majalah. Kantor berita pelopor yang masih beroperasi hingga kini antara lain Associated Press (AS), Reuters (Inggris), dan Agence-France Presse (Prancis).
Tahun 1800-an juga ditandai dengan munculnya istilah Yellow Journalism (jurnalisme kuning), sebuah istilah untuk “pertempuran headline” antara dua koran besar di Kota New York. Satu dimiliki oleh Joseph Pulitzer dan satu lagi dimiliki oleh William Randolph Hearst.
Ciri khas “jurnalisme kuning” adalah pemberitaannya yang bombastis, sensasional, dan pemuatan judul utama yang menarik perhatian publik. Tujuannya hanya satu: meningkatkan penjualan! Namun, jurnalisme kuning tidak bertahan lama, seiring dengan munculnya kesadaran jurnalisme sebagai profesi.
Sebagai catatan, surat kabar generasi pertama di AS awalnya memang partisan, serta dengan mudah menyerang politisi dan presiden, tanpa pemberitaan yang objektif dan berimbang. Namun, para wartawannya kemudian memiliki kesadaran bahwa berita yang mereka tulis untuk publik haruslah memiliki pertanggungjawaban sosial.
Kesadaran akan jurnalisme yang profesional mendorong para wartawan untuk membentuk organisasi profesi mereka sendiri. Organisasi profesi wartawan pertama kali didirikan di Inggris pada 1883, yang diikuti oleh wartawan di negara-negara lain pada masa berikutnya. Kursus-kursus jurnalisme pun mulai banyak diselenggarakan di berbagai universitas, yang kemudian melahirkan konsep-konsep seperti pemberitaan yang tidak bias dan dapat dipertanggungjawabkan, sebagai standar kualitas bagi jurnalisme profesional.
Kegiatan jurnalisme terkait erat dengan perkembangan teknologi publikasi dan informasi. Pada masa antara tahun 1880-1900, terdapat berbagai kemajuan dalam publikasi jurnalistik. Yang paling menonjol adalah mulai digunakannya mesin cetak cepat, sehingga deadline penulisan berita bisa ditunda hingga malam hari dan mulai munculnya foto di surat kabar.
Pada 1893 untuk pertama kalinya surat-surat kabar di AS menggunakan tinta warna untuk komik dan beberapa bagian di koran edisi Minggu. Pada 1899 mulai digunakan teknologi merekam ke dalam pita, walaupun belum banyak digunakan oleh kalangan jurnalis saat itu. Pada 1920-an, surat kabar dan majalah mendapatkan pesaing baru dalam pemberitaan, dengan maraknya radio berita. Namun demikian, media cetak tidak sampai kehilangan pembacanya, karena berita yang disiarkan radio lebih singkat dan sifatnya sekilas. Baru pada 1950-an perhatian masyarakat sedikit teralihkan dengan munculnya televisi.
Perkembangan teknologi komputer yang sangat pesat pada era 1970-1980 juga ikut mengubah cara dan proses produksi berita. Selain deadline bisa diundur sepanjang mungkin, proses cetak, copy cetak yang bisa dilakukan secara massif, perwajahan, hingga iklan, dan marketing mengalami perubahan sangat besar dengan penggunaan komputer di industri media massa.
Pada abad ini juga perkembangan jurnalisme mulai diwarnai perjuangan panjang kebebasan pers antara wartawan dan penguasa. Pers Amerika dan Eropa berhasil menyingkirkan batu-batu sandungan sensorsip pada akhir Abad ke-18 dan memasuki era jurnalisme modern seperti yang kita kenal sekarang.
Perceraian antara jurnalisme dan politik terjadi pada sekitar 1825-an, sehingga wajah jurnalisme sendiri menjadi lebih jelas: independen dan berwibawa. Sejumlah jurnalis yang muncul pada abad itu bahkan lebih berpengaruh ketimbang tokoh-tokoh politik atau pemerintahan. Jadilah jurnalisme sebagai bentuk profesi yang mandiri dan cabang bisnis baru.
Pada pertengahan 1800-an mulai berkembang organisasi kantor berita yang berfungsi mengumpulkan berbagai berita dan tulisan untuk didistribusikan ke berbagai penerbit surat kabar dan majalah. Kantor berita pelopor yang masih beroperasi hingga kini antara lain Associated Press (AS), Reuters (Inggris), dan Agence-France Presse (Prancis).
Tahun 1800-an juga ditandai dengan munculnya istilah Yellow Journalism (jurnalisme kuning), sebuah istilah untuk “pertempuran headline” antara dua koran besar di Kota New York. Satu dimiliki oleh Joseph Pulitzer dan satu lagi dimiliki oleh William Randolph Hearst.
Ciri khas “jurnalisme kuning” adalah pemberitaannya yang bombastis, sensasional, dan pemuatan judul utama yang menarik perhatian publik. Tujuannya hanya satu: meningkatkan penjualan! Namun, jurnalisme kuning tidak bertahan lama, seiring dengan munculnya kesadaran jurnalisme sebagai profesi.
Sebagai catatan, surat kabar generasi pertama di AS awalnya memang partisan, serta dengan mudah menyerang politisi dan presiden, tanpa pemberitaan yang objektif dan berimbang. Namun, para wartawannya kemudian memiliki kesadaran bahwa berita yang mereka tulis untuk publik haruslah memiliki pertanggungjawaban sosial.
Kesadaran akan jurnalisme yang profesional mendorong para wartawan untuk membentuk organisasi profesi mereka sendiri. Organisasi profesi wartawan pertama kali didirikan di Inggris pada 1883, yang diikuti oleh wartawan di negara-negara lain pada masa berikutnya. Kursus-kursus jurnalisme pun mulai banyak diselenggarakan di berbagai universitas, yang kemudian melahirkan konsep-konsep seperti pemberitaan yang tidak bias dan dapat dipertanggungjawabkan, sebagai standar kualitas bagi jurnalisme profesional.
Kegiatan jurnalisme terkait erat dengan perkembangan teknologi publikasi dan informasi. Pada masa antara tahun 1880-1900, terdapat berbagai kemajuan dalam publikasi jurnalistik. Yang paling menonjol adalah mulai digunakannya mesin cetak cepat, sehingga deadline penulisan berita bisa ditunda hingga malam hari dan mulai munculnya foto di surat kabar.
Pada 1893 untuk pertama kalinya surat-surat kabar di AS menggunakan tinta warna untuk komik dan beberapa bagian di koran edisi Minggu. Pada 1899 mulai digunakan teknologi merekam ke dalam pita, walaupun belum banyak digunakan oleh kalangan jurnalis saat itu. Pada 1920-an, surat kabar dan majalah mendapatkan pesaing baru dalam pemberitaan, dengan maraknya radio berita. Namun demikian, media cetak tidak sampai kehilangan pembacanya, karena berita yang disiarkan radio lebih singkat dan sifatnya sekilas. Baru pada 1950-an perhatian masyarakat sedikit teralihkan dengan munculnya televisi.
Perkembangan teknologi komputer yang sangat pesat pada era 1970-1980 juga ikut mengubah cara dan proses produksi berita. Selain deadline bisa diundur sepanjang mungkin, proses cetak, copy cetak yang bisa dilakukan secara massif, perwajahan, hingga iklan, dan marketing mengalami perubahan sangat besar dengan penggunaan komputer di industri media massa.
The Pulitzer Prize adalah
penghargaan untuk prestasi di surat kabar dan jurnalisme online , sastra, dan komposisi musik di Amerika Serikat .
Didirikan
pada tahun 1917 oleh ketentuan dalam kehendak Amerika (kelahiran Hungaria)
penerbit Joseph Pulitzer , dan dikelola oleh Columbia University di New York City . Hadiah diberikan setiap tahun
dalam dua puluh satu kategori. Dalam dua puluh satu
kategori, masing-masing pemenang menerima sertifikat dan penghargaan uang tunai
US $ 10.000. Pemenang dalam kategori pelayanan publik
kompetisi jurnalistik diberikan sebuah medali emas .
Sumber
:
2.
Sejarah Jurnalistik di Indonesia
1.
Zaman pendudukan Belanda
a.
Kolonial
Pers
kolonial adalah pers yang di usahakan oleh orang-orang Belanda pada masa
penjajahan Belanda. Pers ini berupa surat kabar, majalah, koran berbahasa
Belanda atau bahasa daerah Indonesia yang bertujuan membela kepentingan kaum
kolonialis Belanda. Beberapa pejuang kemerdekaan Indonesia pun menggunakan
kewartawanan sebagai alat perjuangan.
Pada
tahun 1744 terbit tabloid Belanda pertama di Indonesia yaitu Batavis Novelis
atau dengan namapanjangnya Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementes. Sebenarnya
pada tahun 1615 Gubernur Jenderal pertama VOC Jan Piterszoon Coen telah
memerintahkan menerbitkan Memorie der Nouvelles . surat kabar ini berupa tulisan
tangan. Tanggal 5 Januari 1810 Gubernur Jenderal Daendels menerbitkan sebuah
surat kabar mingguan Bataviasche Koloniale Courant yang memuat tentang peraturan-peraturan tentang penempatan jumlah
tenaga untuk tata buku, juru cetak, kepala pesuruh dan lain-lain. Setelah itu
mulai bermunculan surat kabar baru dari masyarakat Indonesia itu sendiri.
Seperti; Medan Priyayi (1910), Bintang Barat, Bintang Timur, dan masih banyak
lagi. Medan Priyayi adalah surat kabar pertama yang dimiliki oleh masyarakat
pribumi Indonesia, yang didirikan oleh Raden Jokomono atau Tirto Hadi Soewirjo.
Oleh sebab itu Raden Jokomono atau Tirto Hadi Soewirjo disebut sebagai tokoh
Pemrakarsa Pers Nasional, karena dia adalah orang pertama dari Indonesia yang
mampu memprakarsainya dan dimodali oleh modal Nasional.
Pada
tahun 1811 saat Hindia Belanda menjadi jajahan Inggris Bataviasche Koloniale
Courant tidak terbit lagi. Orang Inggris menerbitkan Java Government Gazette.
Surat kabar ini sudah memuat humor dan terbit antara 29 Februari 1812
sampai 13 Agustus 1814. Hal ini dikarenakan pulau Jawa dan Sumatera harus
dikembalikan kepada Belanda.
Belanda
kemudian menerbitkan De Bataviasche Courant dan kemudian tahun
1828 diganti dengan Javasche Courant memuat berita-berita resmi , juga berita
pelelangan, kutipan dari surat kabar di Eropa. Tahun 1835 di Surabaya terbit Soerabajaasch Advertentieblad. Kemudian di Semarang pada pertengahan
abad 19 terbit Semarangsche Advertentieblad dan De Semarangsche Courant
dan kemudian Het
Semarangsche Niuews en Advertentieblad. Surat kabar ini
merupakan harian pertama yang mempunyai lampiran bahasa lain seperti Jawa, Cina
dan juga Arab. Tahun 1862 untuk pertama kali dibuka jalan kereta api oleh
Pemerintah Hindia Belanda maka untuk menghormati hal tersebut Het Semarangsche Niuews en
Advertentieblad berganti nama menjadi de Locomotief.
Setelah
itu mulai bermunculan surat kabar baru dari masyarakat Indonesia itu sendiri.
Seperti; Medan Priyayi (1910), Bintang Barat, Bintang Timur, dan masih banyak
lagi. Medan Priyayi adalah surat kabar pertama yang dimiliki oleh masyarakat
pribumi Indonesia, yang didirikan oleh Raden Jokomono atau Tirto Hadi Soewirjo.
Oleh sebab itu Raden Jokomono atau Tirto Hadi Soewirjo disebut sebagai tokoh
Pemrakarsa Pers Nasional, karena dia adalah orang pertama dari Indonesia yang
mampu memprakarsainya dan dimodali oleh modal Nasional.
b.
Pers Masa Pergerakan
Masa
pergerakan adalah masa bangsa Indonesia berada di bawah penjajahan Belanda
sampai saat masuknya Jepang menggantikan Belanda. Pers nasional adalah pers
yang di usahakan oleh orang-orang Indonesia terutama orang-orang pergerakan dan
di peruntukan bagi orang Indonesia. Setelah munculnya pergerakan modern Budi
Utomo tanggal 20 Mei 1908, Surat kabar yang di keluarkan orang Indonesia lebih
banyak berfungsi sebagai alat perjuangan. Pers menyuarakan
kepedihan,penderitaan,dan merupakan refleksi isi hati bangsa terjajah. Pers
menjadi pendorong bangsa Indonesia dalam perjuangan memperbaiki nasib dan
kedudukan bangsa.
2.
Zaman Penjajahan Jepang
Jepang mengambil alih kekuasaan, koran-koran dilarang. Akan tetapi pada akhirnya ada lima media
yang mendapat izin terbit: Asia Raja, Tjahaja, Sinar Baru,
Sinar Matahari, dan Suara Asia.
Beberapa
keuntungan yang di dapat oleh para wartawan di Indonesia yang bekerja pada
penerbitan Jepang,antara lain sebagai berikut :
Ø Pengalaman
yang di peroleh para karyawan pers Indonesia bertambah.Fasilitas dan alat-alat
yang di gunakan jauh lebih banyak dari pada masa pers zaman Belanda.
Ø Penggunaan
bahasa Indonesia dalam pemberitaan makin sering dan luas.
Ø Pengajaran
untuk rakyat agar berfikir kritis terhadap berita yang di sajikan oleh
sumber-sumber resmi Jepang.Selain itu,kekejaman dan penderitaan yang di alami
pada masa pendudukan Jepang memudahkan para pemimpin bangsa memberikan semangat
untuk melawan penjajahan.
Revolusi
Fisik (Pendudukan Belanda)
Pada
masa revolusi fisik ini, pers terbagi menjadi dua golongan,yaitu sebagai
berikut :
Ø Pers
yang di terbitkan dan di usahakan oleh tentara pendudukan Sekutu dan Belanda
yang selanjutnya di namakan pers Nica ( Belanda ).
Ø Pers
yang di terbitkan dan di usahakan oleh orang Indonesia yang di sebut pers republik.
Pers
republik disuarakan oleh masyarakat Indonesia yang berisi semangat
mempertahankan kemerdekaan dan menentang usaha pendudukan Sekutu. Pers ini
benar-benar menjadi alat perjuangan masa itu. Sebaliknya, pers Nica berusaha
memengaruhi rakyat Indonesia agar menerima kembali Belanda untuk berkuasa di
Indonesia.
3.
Jurnalistik
Indonesia sebelum dan sesudah kemerdekaan
Jurnalistik Indonesia Sebelum Kemerdekaan
Di Indonesia
pers mulai dikenal pada abad 18, tepatnya pada tahun 1744, ketika sebuah surat
kabar bernama “Bataviasche Nouvelles” diterbitkan dengan perusahaan orang-orang
Belanda. Surat kabar yang pertama sebagai bacaan untuk kaum pribumi dimulai
tahun 1854 ketika majalah “Bianglala” diterbitkan, disusul oleh “Bromartani”
pada tahun 1885, kedua-duanya di Weltevreden, pada tahun 1856 “Soerat Kabar
Bahasa Melajoe” di Surabaya. Sejak itu bermunculanlah berbagai surat kabar
dengan pemberitaan bersifat informatif, sesuai dengan situasi dan kondisi pada
zaman penjajahan itu.
Sejarah pers
pada abad 20 ditandai dengan munculnya koran pertama milik Bangsa Indonesia.
Modal dari bangsa Indonesia dan untuk bangsa Indonesia, yakni “Medan Prijaji”
yang terbit di Bandung. Medan Prijaji yang dimiliki dan dikelola oleh Tirto
Hadisuryo alias Raden Mas Djokomono ini pada mulanya, yakni tahun 1907
berbentuk mingguan, kemudian pada tahun 1910 diubah menjadi harian.
Tirto Hadisuryo
ini dianggap sebagi pelopor yang meletakkan dasar jurnalistik modern di
Indonesia, baik dalam cara pemberitaan, pemuatan karangan, iklan dan lain-lain.
Setelah Boedi Oetomo lahir yang diikuti oleh gerakan-gerakan lainnya, baik yang
berasaskan kebangsaan maupun yang berdasarkan keagamaan, jumlah surat kabar yang
dikelola Indonesia semakin bertambah karena organisasi-organisasi tersebut
menyadari bahwa untuk menyebarluaskan misinya diperlukan media massa, yang pada
waktu itu hanya surat kabar-lah yang dapat dipergunakan.
Ditinjau dari
sudut jurnalistik salah seorang tokoh bernama Dr. Abdoel Rivai dianggap sebagai
wartawan yang paling terkenal karena tulisannya yang tajam dan pedas terhadap
kolonialisme Belanda. Oleh Adinegoro, Dr. Rivai diberi julukan “Bapak
Jurnalistik Indonesia” dan diakui oleh semua wartawan pada waktu itu sebagai
kolumnis Indonesia yang pertama.
Jurnalistik
Indonesia Pasca Kemerdekaan
Seperti juga di
belahan dunia lain, pers Indonesia diwarnai dengan aksi pembungkaman hingga
pembredelan. Haryadi Suadi mencatat, pemberedelan pertama sejak kemerdekaan
terjadi pada akhir 1940-an. Tercatat beberapa koran dari pihak Front Demokrasi
Rakyat (FDR) yang dianggap berhaluan kiri seperti Patriot, Buruh,
dan Suara Ibu Kota dibredel pemerintah. Sebaliknya, pihak FDR membalas
dengan membungkam koran Api Rakjat yang menyuarakan kepentingan Front
Nasional. Sementara itu pihak militer pun telah memberedel Suara Rakjat dengan
alasan terlalu banyak mengkritik pihaknya.
Pada tanggal 1
Oktober 1945 terbit Harian Merdeka sebagi hasil usaha kaum Buruh De Unie yang
berhasil menguasai percetakan. Pada saat revolusi fisik itu jurnalistik
Indonesia mempunyai fungsi yang khas. Hasil karya wartawan bukan lagi
bermanfaat bagi konsumsi pembaca di daerah pedalaman, tetapi juga berguna bagi
prajurit-prajurit dan laskar-laskar yang berjuang di Front. Berita yang
dibuat para wartawan bukan saja mengobarkan semangat berjuang membela
kemerdekaan, tetapi sekaligus sebagai alat pemukul terhadap hasutan-hasutan
pihak Belanda yang disiarkan melalui berbagai media massanya.
Pada tanggal 1
Januari 1950 berlakulah UUD RIS, tetapi pada tanggal 15 Agustus 1950 RIS
dibubarkan, dan Indonesia menjadi Republik Kesatuan dengan UUDS. Pada waktu itu
yakni waktu pengakuan kedaulatan sampai tahun 1959 yaitu munculnya doktrin
demokrasi terpimpin yang kemudian disusul dengan ajaran Manipol Usdek,
kebebasan pers banyak digunakan untuk saling mencaci-maki dan memfitnah lawan
politik dengan tujuan agar lawan politiknya itu jatuh namanya dalam pandangan khalayak.
Antara tahun
1955 sampai 1958 dengan UU No. 23 tahun 1954 banyak surat kabar yang dibredel,
banyak pula wartawan yang ditangkap dan ditahan. Tanggal 1 Oktober 1958 dapat
dikatakan sebagai tanggal matinya kebebasan pers Indonesia. Sesudah Dekrit Presiden
tanggal 5 Juli 1959, pihak penguasa berturut-turut mengeluarkan peraturan untuk
lebih mengetatkan kebebasan terhadap pers. Persyaratan untuk mendapatkan SIT
diperkeras. Baru beberapa bulan peraturan itu berjalan, kemudahan lahir
peraturan baru yang lebih mempersempit ruang gerak para wartawan yang hendak
mengeluarkan pendapatnya dan pikirannya.
Departemen
Penerangan mengeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa surat kabar atau
majalah harus didukung oleh suatu partai politik atau tiga organisasi massa.
Surat kabar di daerah yang semula masih dibenarkan memakai nama berbeda dengan
organ resmi dari induk tempat ia berafiliasi di Pusat harus mengubah namanya
sehingga sama dengan organnya di Jakarta. Akibat peraturan itu dapat
dibayangkan bagaimana corak jurnalistik Indonesia pada waktu itu, ruang para
wartawan dipersempit, keterampilan dikekang, daya pikir ditekan. Tahun 1966
bagi sejarah pers Indonesia merupakan tahun penting karena pada tahun itulah
dikeluarkannya UU No. 11 tahun 1966 tentang ketentuan-ketentuan pokok pers.
Ditinjau dari
segi kualitas dan kuantitas, sejarah perkembangan pers dan jurnalistik
Indonesia sejak saat itu menggembirakan dan membanggakan kita. Pada tahun 1988
tercatat ada 263 penerbitan pers, pada tahun 1992 jumlah tersebut meningkat
menjadi 277 penerbitan pers.
4. Orde lama
Pers
pada masa Orde lama ( pada masa
Soekarno ) digunakan untuk mengkritisi pemimpin.
Dewan Pers pertama kali terbentuk pada tahun 1966 melalui Undang-undang No.11
Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers. Fungsi dari Dewan Pers saat
itu adalah sebagai pendamping Pemerintah serta bersama-sama membina
perkembangan juga pertumbuhan pers di tingkat nasional. Saat itu, Menteri Penerangan secara ex-officio menjabat
sebagai Ketua Dewan Pers.
5. Orde baru
Pada
era orde baru ( pada masa
Soeharto ) kedudukan dan fungsi Dewan Pers tidak berubah yaitu masih menjadi
penasihat pemerintah, terutama untuk Departemen Penerangan. Hal ini didasari
pada Undang-Undang No. 21 Tahun 1982 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers. Tetapi terjadi perubahan
perihal keterwakilan dalam unsur keanggotaan Dewan Pers seperti yang dinyatakan
pada Pasal 6 ayat (2) UU No. 21 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pers Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1967 :
“Anggota
Dewan Pers terdiri dari wakil organisasi pers, wakil Pemerintah dan wakil
masyarakat dalam hal ini ahli-ahli di bidang pers serta ahli-ahli di bidang
lain.”
Pada
masa ini, khususnya ketika Ali Murtopo menjadi Menteri Penerangan (1977-1982),
Departemen Penerangan difungsikan sebagai sebuah "departemen politik"
bersama Departemen Dalam Negeri. Artinya, ia mempunyai fungsi pembinaan
politik. Departemen ini berada di garda terdepan dalam setiap kampanye pemilu.
Fungsi ini semakin kental terasa tatkala Harmoko menjadi Menteri Penerangan
(1982-1997), dan selama tiga periode berturut-turut Harmoko merangkap menjadi
Ketua Umum Golkar (1987-1998) dan Ketua Umum MPR (Maret 1998 -November 1998).
Ini adalah jabatan dan kedudukan yang sangat strategis. Dalam struktur
kekuasaan seperti itu, Departemen Penerangan menjadi lembaga penjaga gerbang
informasi yang sangat efektif bagi kepentingan pemerintah. Departemen
Penerangan (melalui Direktorat Bina Wartawan Dirjen PPG) mempunyai kewenangan
untuk mencegah tangkal visa bagi wartawan maupun koresponden luar negeri serta
mempunyai kewenangan untuk mencegah tangkal tayangan siaran langsung televisi
dari dan ke luar negeri. Karena itu, Departemen Penerangan juga mempunyai
wewenang dalam pengaturan agenda informasi dari dan ke luar negeri. (Hidayat,
dkk, 2000:225).
6. Orde Reformasi
Disahkannya
Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers membuat berubahnya Dewan Pers
menjadi Dewan Pers yang Independen, dapat dilihat dari Pasal 15 ayat (1) UU
Pers menyatakan :
Dalam
upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional,
dibentuk Dewan Pers yang independen
Fungsi
Dewan Pers juga berubah, yang dahulu sebagai penasihat Pemerintah sekarang
telah menjadi pelindung kemerdekaan pers.
Tidak
ada lagi hubungan secara struktural dengan Pemerintah. Dihapuskannya Departemen Penerangan pada
masa Presiden Abdurrahman Wahid menjadi bukti. Dalam
keanggotaan, tidak ada lagi wakil dari Pemerintah dalam Dewan Pers. Tidak ada
pula campur tangan Pemerintah dalam institusi dan keanggotaan, meskipun harus
keanggotaan harus ditetapkan melalui Keputusan Presiden. Untuk
Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pers, dipilih melalui mekanisme rapat pleno
(diputuskan oleh anggota) dan tidak dicantumkan dalam Keputusan Presiden.
Pemilihan anggota Dewan Pers independen awalnya diatur oleh Dewan Pers lama. Atang Ruswati menjabat
sebagai Ketua Badan Pekerja Dewan Pers, sebuah badan bentukan Dewan Pers
sebelum dilakukannya pemilihan anggota. Badan Pekerja Dewan Pers kemudian
melakukan pertemuan dengan berbagai macam organisasi pers juga perusahaan
media. Pertemuan tersebut mencapai sebuah kesepakatan bahwa setiap organisasi
wartawan akan memilih dan juga mencalonkan dua orang dari unsur wartawan serta
dua dari masyarakat. Setiap perusahaan media juga berhak untuk memilih serta
mencalonkan dua orang yang berasal dari unsur pimpinan perusahaan media juga
dua dari unsur masyarakat. Ketua Dewan Pers independen yang pertama kali adalah
Atmakusumah
Astraatmadja.
Sumber :